Salah satu mitos yang sering didengung-dengungkan adalah Gereja Katolik, karena takut ditinggalkan oleh anggota yang mengetahui kebenaran sesunguhnya di Kitab Suci dan kemudian kehilangan kuasa dan kekayaan, melarang umat membaca Kitab Suci. Apakah ini benar?
Masalah ini perlu mendapat perspektif yang benar. Pada abad pertengahan, sebelum ditemukan mesin cetak, Kitab Suci ditulis di kulit hewan, yang disebut vellum. Diperlukan kira-kira 250 domba untuk membuat satu Kitab Suci. Ini bearti uang.Itu dari materi yang diperlukan. Sekarang dari proses produksi. Kitab Suci disalib secara manual oleh juru tulis (scribes). Pada saat itu, juru tulis termasuk pekerjaan yang cukup tinggi yang tentu saja menuntut bayaran yang cukup tinggi pula. Ini bearti uang. Masalah waktu juga tidak seperle. Bayangkan berapa waktu yang diperlukan unutk menyalin seluruh Kitab Suci tanpa ada kesalahan. Karena saat itu belum terdapat tip-ex, kesalahan bearti mengulang seluruh vellum. Ini menyebabkan dalam suatu periode waktu cuma ada sedikit Kitab Suci. Ini menyebabkan harganya naik sesuai hukum penawaran.
Jangan bayangkan penduduk zaman itu seperti penduduk modern. Hampir semua orang tidak dapat menulis dan membaca. Pada waktu itu hanya bangsawan, orang kaya, juru tulis, dan biarawan yang menguasai baca-tulis. Ingat pula bahwa bahasa yang lazim dipakai saat itu adalah Latin, yang merupakan bahasa kaum terpelajar. Ini menyebabkan tidak ada keperluan untuk menyediakan Kitab Suci secara massal. Kitab Suci yang langka itu akhirnya memang disimpan di Gereja. Sama seperti buku telefon Yellow Pages disediakan hanya di telefon umum, bukan di tiap rumah. Apakah telkom melarang kita membaca buku telefon? Lagi pula iman muncul dari pendengaran
Setelah mesin cetak ditemukan, pengadaan Kitab Suci besar-besaran pun muncul. Meskipun demikian, teknologi ini tidak langsung tersedia di seluruh Eropa. Pada tahun 1455, ongkos pencetakan Kitab Suci setara dengan gaji clerk selama tiga tahun. Dan ketika ongkos pencetakan ini telah turun, Gereja dihadapkan pada ajaran sesat baru, Protestan. Saya tidak ingin membahas mengapa Protestan dapat dianggap ajaran sesat di sini. Tapi kenyataannya Gereja ingin melindungi umatnya dari pengaruh Protestan. Kita ambil contoh saja mengenai Martin Luther yang membuang Deuterokanonika dan meletakkan Surat Yakobus, 1 dan 2 Petrus serta Wahyu sebagai lampiran pada Kitab Suci versinya. Ini tentu sangat berbahaya sehingga wajar bila Gereja Katolik melarang umatnya membaca sembarang kItab Suci. Sebenarnya Gereja Katolik telah berusaha agar Kitab Suci dikenal umatnya yaitu dengan memerintahkan penerbitan Kitab Suci dalam bahasa Latin, Vulgata. Sesuai artinya Vulgata,common language, Kitab Suci terjemahan St. Jerome ini memang ditujukan untuk dibaca oleh orang zaman itu, yang pengetahuan bahasa asli Kitab Suci, Yunani, Aram dan Ibrani, tentu lebih rendah lagi.
Gereja Katolik memberikan indulgensi bagi mereka yang membaca Kitab Suci. Ini ditentukan jauh sebelum Konsili Vatikan II. Ini bukti tambahan bahwa Gereja Katolik tidak pernah melarang anggotanya untuk membaca Kitab Suci. Tidak benar bahwa Gereja Katolik ketakutan kehilangan kuasa sehingga melarang uumat membaca Kitab Suci. Letakkan dalam perspektif yang benar dan saat itu masalah menjadi jernih dan nyatalah itu hanya mitos belaka.
sumber:Ipsa Conteret Caput Tuum dengan izin dari penulis"
Post a Comment