Latest News

Thursday, October 31, 2013

Penggelaran Kudus

Tradisi Gereja Katolik berdevosi pada para kudus sudah berlangsung sejak Gereja Perdana. Pada awalnya, penghormatan dilakukan bagia para martir, orang yang wafat demi iman akan Kristus. Sejak abad ke IV, kultus devosi itu berkembang. Gereja tak hanya menghormati para martir, melainkan juga orang yang selama hidupnya menghayati keutamaan iman kristiani secara total dan menjadi teladan umat beriman (pengaku iman).

St. Ulrich
Pengakuan kekudusan seseorang ini pada mulanya hanya membutuhkan persetujuan Uskup setempat, dan diprioritaskan bagi martir. Uskup setempat membentuk komisi khusus untuk mengumpulkan data dan menelitui dalam proses penggelaran kudus. Usai prose situ, Uskup merestui dan mengumumkan penghormatan secara resmi dan umum pada umat. Dalam perkembangannya. Penggelaran kudus akhirnya menjadi hak Takhta Suci. Secara resmi kanonisasi pertama dalam sejarah terjadi pada zaman Paus Yohanes XV (985-996) dalam Sinode Lateran 31 Januari 993. Kala itu, Uskup Agung Augsburg Jerman, Mgr Ulrich (890-973) dinobatkan sebagai Santo dengan Bullayang dipromulgasikan pada 3 Februari 993.


Hak penggelaran kudus Takhta Suci itu dilanjutkan oleh Paus Urbanus II (1088-1099), Calixtus II (1119-1124), dan Eugenius III ( 1145-1153). Meski demikian, masih banyak para Uskup yang melakukan proses penggelaran kudus. Hingga tahun 1171, Paus Alexander III (1159-1181) menetapkan hak prerogative Takhta Suci dalam penggelaran kudus dan menegor para Uskup yang masih memperaktikannya. Tahun 1200, keputusan Alexander III ini disempurnakan Paus Innosensius III (1198-1216). Pada 22 Januari 1588, Paus Sixtus V (1585-1590) mendirikan 15 kongregasi Kuria Roma dengan Bulla Immensa Aeterni Dei. Salah satunya ialah Kongregasi untuk Ritus dan Perayaan yang menangani tentang ritus, Liturgi, perayaan Sakramen, dan juga proses beatifikasi dan kanonisasi. Tak pelak, banyak Uskup masih melakukan proses beatifikasi.

Akhirnya, Paus Urbanus VIII (1623-1644) mempromulgasikan Bulla pada 1634, yang mengatur hak istimewa untuk penggelaran kudus. Semua Uskup, kecuali Uskup Roma, dilarang melakukan beatifikasi dan kanosasi. Aturan tentang proses beatifikasi dan kanonisasi sudah mendekati seperti sekarang pada awal abad XX, masa kepausan Pius X (1903-1914) dan Benediktus XV (1914-1922). Melalui Konstitusi Apostolik Sacra Rituum Congregatio pada 8 Mei 1969, Paus Paulus VI (1963-1978) membagi Kongregasi untuk Ritus dan Perayaan menjadi dua Kongregasi, yakni: Kongregasi Liturgi Suci dan Disiplin Sakramen dengan Kongregasi Penggelaran Kudus. Kongregasi Penggelaran Kudus pun berdiri sendiri dengan merevisi struktur warisan Paus Pius XI (1922-1939) sejak 6 Februari 1930. Reformasi besar-besaran tentanng proses beatifikasi dan kanonisasi baru terjadi pada zaman Paus Yohanes Paulus II (1978-2005). Ia mempromulgasikan Konstitusi Apostolik Divinus Perfectionis Magister pada 25 Januari 1983. Atas restu Bapa Suci, Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus menerbitkan Norma Dasar bagi para Uskup tentang Proses Penggelaran Kudus (Normae servandae in inquisitionibus ab episcopius faciendis in causi sanctorum) pada 7 Februari 1983.

Kardinal Angelo Amato 
Dokumen terakhir yang secara signifikan menjadi rujukan untuk Proses Penggelaran Kudus ialah Sanctorum Mater, instruksi tentang prosedur dan tata cara penggelaran kudus. Dokumen ini diterbitkan oleh Kongregasi Penggelaran Kudus pasca direstui Benediktus XVI pada 23 Februari 2007. Mulai saat itu, perayaan beatifikasi tidak harus digelar di Basilika St. Petrus Vatikan, tapi bisa dirayakan di daerah asal yang dibeatifikasi. Kini Prefek Kongregasi Penggelaran kudus diampu oleh Kardinal Angelo Amato SDB, dengan Sekretaris Pastor Marcello Bartolucci dan Sekretaris Ekesekutif Mgr Boguslaw Turek, yang dibantu 23 staf. Anggota Kongregasi ini berjumlah 34 orang (kardinal dan uskup) dan seorang Teolog Prelatus, dilengkapi dengan lima relator dan 83 konsultar dari pelbagai disiplin ilmu - disadur oleh Katolisitas Indonesia dari Majalah Hidup edisi 34.

Thursday, October 24, 2013

Ars Celebrandi - Seni Merayakan Liturgi

Berikut sebuah pertanyaan yang diajukan oleh Pater Vittorio Peturzzi, vikaris paroki di Aprilia dari Keuskupan Albano kepada Paus Em. Benediktus XVI, sewaktu ia menjabat sebagai seorang Paus.

Yang mulia, untuk tahun pastoral yang tidak lama lagi akan dimulai, keuskupan kami diminta oleh Uskup untuk member perhatian khusus pada Liturgi, dalam hal dimensi teologis dan praktik perayaan. Tema sentral untuk refleksi pada minggu-minggu tenang yang akan dilaksanakan pada bulan September adalah: �Rencana dan implementasi pewartaan dalam tahun Liturgi, dalam Sakramen-sakramen, dan dalam sakramentali.� Sebagai imam, kami dipanggil untuk merayakan �liturgi yang serius, sederhana dan indah,� meminjam rumusan yang indah yang ada dalam dokumen �Mengomunikasikan Injil dalam Dunia Yang berubah� oleh para Uskup Italia. Bapa suci, dapatkah Anda membantu kami memahami bagaimana semua ini dapat diungkapkan dalam �ars celebrandi�?


ARS CELEBRANDI: Disini saya juga ingin mengatakan bahwa terdapat dimensi-dimensi yang berbeda. Dimensi pertama adalah celebratio, yaitu doa dan percakapan dengan Tuhan: Tuhan bersama kita dan kita bersama Tuhan. Maka persyaratan pertama untuk perayaan yang baik adalah imam benar-benar masuk dalam percakapan. Dalam mewartakan Sabda itu, ia sendiri merasakan sedang bercakap-cakap dengan Tuhan, Ia adalah pendengar Sabda dan pengkhotbah Sabda, dalam arti bahwa ia sendiri membuat dirinya sebagai alat Tuhan dan berusaha untuk memahami Sabda Tuhan ini yang kemudian harus ia sampaikan kepada umat. Ia berada dalam percakapan dengan Tuhan karena teks dari Misa Kudus bukanlah naskah drama atau semacam itu, tetapi doa-doa, ucapan syukur bersama dengan umat, yang kita sampaikan kepada Tuhan.

Oleh karena itu, penting untuk masuk dalam percakapan itu. St. Benediktus dalam �Peraturan"nya mengatakan kepada para rahib, ketika berbicara tentang pendarasan Mazmur, �Mens corcodat voci.� Vox kata-kata, sebelumnya memenuhi pikiran kita. Masalahnya tidak selalu demikian: Orang harus berpikir kemudian pikiran itu akan menjadi kata-kata. Tetapi disini, perkataan datang lebih dahulu. Liturgi yang kudus memberikan kepada kita perkataan-perkataan itu; kita harus masuk ke dalam perkataan itu, menemukan suatu keselarasan dengan realitas ini yang mendahului kita.
Ditambah lagi, kita juga harus belajar memahami struktur Liturgi dan mengapa struktur itu disusun seperti itu. Liturgi itu dibangun dalam dua millennium dan bahkan setelah reformasi, bukan sesuatu yang disusun oleh hanya beberapa ahli Liturgi. Liturgi tetap merupakan kesinambungan dari penyembahan dan pewartaan yang sedang berjalan.

Maka, agar dapat serasi, sangat pentinglah memahami struktur Liturgi yang telah dibangun selama sekian waktu dan masuk dengan pikiran kita kedalam suara Gereja. Ketika kita sudah menghayati dan memahami struktur ini, memadukan kata-kata Liturgi, kita dapat masuk ke dalam kedalaman dari keserasian ini dan dengan demikian tidak hanya berbicara kepada Tuhan sebagai individu, tetapi masuk kedalam �kekitaan� Gereja, yaitu berdoa. Dan dengan demikian, kita mengubah �keakuan� kita dengan cara ini, dengan masuk kedalam �kekitaan� Gereja, dengan memperkaya dan memperluas �keakuan� ini, dengan berdoa bersama Gereja, dengan kata-kata Gereja, kita benar-benar berada dalam percakapan dengan Allah.

Inilah syarat pertama: Kita sendiri harus menghayati struktur, kata-kata Liturgi, dan Sabda Tuhan. Maka, perayaan kita benar-benar menjadi sebuah perayaan �bersama� Gereja: Hati kita diperluas, dan kita tidak melakukan apa pun kecuali melakukannya �bersama� Gereja, dalam percakapan dengan Tuhan. Menurut pendapat saya umat benar-benar merasakan bahwa kita bercakap-cakap dengan Tuhan, dengan mereka, dan dalam doa yang sama ini kita menarik orang lain, dalam persekutuan dengan anak-anak Allah kita menari orang lain, atau jika tidak, kita hanya melakukan sesuatu yang dangkal.

Maka, unsur yang fundamental dari ars celebrandi yang benar adalah keserasian ini, keselarasan antara apa yang kita katakan oleh bibir kita dan apa yang kita pikirkan dalam hati kita. �Sursum corda, � , sebuah kata dari Liturgi yang sangat kuno, harus ada sebelum Prefasi, sebelum Liturgi, sebagai �jalan� untuk percakapan kita kepada Tuhan, bukan hanya sebagai respon ritual tetapi sebagai ungkapan hati yang diarahkan, dan juga mengarahkan hati orang-orang lain.

Dengan kata lain, ars celebrandi tidak dimaksudkan sebagai sebuah undangan untuk bermain drama atau pertunjukkan, melainkan dimaksudkan untuk sebuah kedalaman jiwa yang membuat kedalaman itu sendiri dirasakan dan diterima dan jelas bagi umat yang ikut ambil bagian. Hanya jika mereka memahami bahwa ini bukanlah ars (seni) yang diluarnya saja atau ars  (seni) yang spektakular � kita bukan para aktor! � tetapi ungkapn perjalanan hati kita yang menarik hati mereka juga, maka Liturgi akan menjadi lebih indah, Liturgi akan menjadi persekutuan semua umat yang hadir dengan Tuhan.

Tentu, hal-hal yang eksternal harus juga diasosiasikan dengan kondisi fundamental ini, yang diungkapkan dalam kata-kata St. Benediktus: �Mens concordat voci� � hati benar-benar diarahkan, diarahkan kepada Tuhan. Kita harus belajar untuk mengatakan kata-kata itu dengan benar.

Kadang-kadang, ketika saya masih seorang guru di Negara saya, anak-anak muda membaca Kitab Suci. Mereka membacanya seperti orang membaca teks puisi yang tidak dimengerti. Tentu saja, untuk belajar mengatakan kata-kata dengan benar, seseorang pertama-tama harus memahami teks itu dengan dramanya, dengan kesegarannya. Hal ini berlaku juga untuk Prefasi dan Doa Syukur Agung.

Sulit bagi orang-orang beriman mengikuti sebuah teks sepanjang Doa Syukur Agung kita. Untuk alasan ini �penemuan-penemuan� baru secara terus menerus muncul. Namun demikian, Doa-doa Syukur Agung yang terus-menerus baru tidaklah menyelesaikan masalah itu. Masalahnya adalah bahwa inilah saat untuk mengajak umat berdiam diri bersama Tuhan dan berdoa bersama Tuhan. Oleh karena itu, akan menjadi lebih baik jika Doa Syukur Agung diucapkan dengan baik dan dengan benar berhenti sejenak untuk hening, dan jika diucapkan dengan kedalaman iman dan juga dengan seni berbicara

Pada saat Doa Syukur Agung diucapkan harus ada waktu khusus untuk konsentrasi, dan harus diucapkan sedemikian rupa, sehingga umat dapat turun terlibat. Saya pecaya kita juga harus menemukan kesempatan-kesempatan dalam katekese, homili, dan suasana-suasana lain untuk menjelaskan Doa Syukur Agung ini dengan baik kepada Umat Allah sehingga mereka dapat mengikuti saat-saat yang penting itu � kata-kata konsekrasi, doa untuk mereka yang masih hidup dan yang sudah meninggal, ucapan syukur kepada Tuhan, dan epiclesis � jika komunitas benar-benar dilibatkan dalam Doa ini.

Maka, kata-kata itu harus diucapkan dengan pantas. Kemudian harus ada persiapan yang cukup. Para pelayan Altar harus tahu apa yang dilakukan; para lektor harus benar-benar pembaca yang berpengalaman. Kemudian koor, harus berlatih lagu-lagu yang akan dinyanyikan: Dan Altar harus dihias dengan benar. Semua ini, meskipun hanya hal-hal yang praktis, adalah bagian dari ars celebrandi.

Kesimpulan-kesimpulannya, unsure fundamentalnya adalah seni memasuki persekutuan dengan Tuhan, yang kita persiapkan sebagai imam sepanjang hidup kita.

Catatan:
Sursum coda, secara harfiah �naikkan hati,� atau seperti yang kadang-kadang dikatakan �arahkan hatimu.� Ini adalah ajakan imam pada waktu pembukaan Doa Syukur Agung dalam Misa Kudus. �Dialog� di awal pembukaaan tetap sama sejak abad-abad awal Gereja.

Disadur oleh Katolisitas Indonesia dari Paus Menjawab hal 91-96.

Thursday, October 17, 2013

Pelanggaran Liturgi - Krisis Liturgi Gereja Katolik

Misa Latin Tradisional/Usus Antiquor/Tridentina
Pelanggaran Liturgi, sesuatu yang tak luput dibicarakan oleh umat beriman di masa sekarang yang sekaligus tantangan bagi Gereja Katolik sendiri dalam mengendalikan bahtera Liturgi. Ketika anak muda memandang Ekaristi sebagai rutinitas yang perlu dilakukan pada hari minggu, bahkan tak jarang pula ditemukan anak muda yang memandang Perayaan Ekaristi sebagai kepunyaan mereka yang telah kering dan harus di renovasi.

Sehingga munculah istilah �Improvisasi Liturgi dan Inkulturasi Liturgi yang kebablasan�, sebuah kegiatan memasukkan hal-hal profan dan asing dalam Perayaan Ekaristi yang kudus dan baku oleh kaum muda bersama dengan pastor yang tidak pernah �membaca� literatur Liturgi Gereja dan didukung oleh kehendak kelompok kategorial yang mengingini agar Liturgi Gereja juga menampung budaya setempat. Sehingga Perayaan Ekaristi berubah orientasi, yang pada awalnya berpusat pada Kristus malah berubah menjadi tempat unjuk bakat dan penampung selera umat dan berakibat fatal dengan melecehkan nilai-nilai kekudusan yang terkandung dalam Perayaan Ekaristi.

Titik tolak masalah pelanggaran Liturgi itu sendiri terletak pada konsep penghayatan dan pemahaman dari umat. Permasalahan utamanya adalah pada masa kini Ekaristi dianggap sebagai penampung selera dari umat dan terutama kaum muda sebagai sebuah acara yang harus mampu mengikuti selera dari jiwa kaum muda dan malahan diperparah oleh kaum religius terutama Imam selebran yang liberal terhadap rambu-rambu dan aturan baku Misa Kudus. Disini tentu yang menjadi penentu terjadinya pelanggaran Liturgi terletak pada bahu Imam selebran itu sendiri.

Menarik bahwa Nuncio Vatikan bagi Indonesia memperingati setiap Imam dalam tanggung jawab mereka sebagai pelayan Liturgi:
�Maka saya ingin mengingatkan kembali bahwa perlu kesetiaan terhadap petunjunk-petunjuk Liturgi yang diberikan oleh Gereja. Secara khusus, para Uskup dan Imam, yakni para pelayan Liturgi suci, bukan pemilik Liturgi, maka mereka tidak boleh mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri Liturgi di setiap Gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan Liturgi dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa kini, serta seluruh Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu dengan penerus Petrus dan dipimpin oleh para Uskup.�

Paus Emeritus Benediktus XVI pun mengungkapkan kegelisahannya dalam melihat situasi Liturgi Gereja pada masa kini, ia pernah berkata �perlakuan terhadap Liturgi menentukan nasib iman dan Gereja Katolik�. Perayaan Ekaristi harus dipahami sebagai doa resmi Gereja kepada Allah dan merupakan jantung dari Iman Katolik sendiri, sebab didalam Perayaan Ekaristi �sumber dan puncak kehidupan Kristiani terletak didalamnya� (KGK 1324) yang tentu mempunyai rambu-rambu dan aturan yang baku.Malah sebaliknya, Perayaan Ekaristi yang begitu kudus telah diubah menjadi sesuatu yang profan dan seturut budaya populer jaman sekarang.

Liturgi suci adalah puncak dan sumber kehidupan dan misi Gereja, demikian kutipan dari Kardinal Ranjith dalam Konferensi Sacra Liturgia bulan Juni 2013 lalu. Ia menekankan bahwa keindahan dan keagungan Perayaan Ekarisi tidak terletak pada seberapa menarik dan memuaskannya Perayaan Ekaristi terhadap diri kita namun bagaimana Perayaan Ekaristi mampu membawa kita mengalami perjumpaaan dengan Allah sendiri. Perayaan Ekaristi menentukan proses dari pertumbuhan iman, transformasi dan pengudusan yang sejati dari kehidupan umat beriman. Oleh karena itu, setiap umat Katolik maupun kaum religius selaku pelayan Liturgi memiliki tanggung jawab untuk menjaga nilai-nilai kekudusan yang termuat dalam Perayaan Ekaristi dan mampu memahami dan menghayati Perayaan Ekaristi sedemikian rupa. Pada akhirnya, kita semua harus sadar bahwa ada hubungan abadi antara Iman dan Liturgi yang diungkapkan dalam kalimat �Lex Orandi, Lex Credendi� yang berarti �Hukum Doa sama dengan Hukum Iman� sehingga apabila Perayaan Ekaristi yang merupakan puncak dari segala peribadatan kepada Kristus dicederai oleh Pelanggaran Liturgi maka secara tidak langsung kita telah mencederai Iman kita sendiri.

Artikel ini ditulis sebagai bentuk penolakan situs Katolisitas Indonesia terhadap Ekaristi Kaum Muda dan Perayaan inkulturasi kebablasan yang selalu identik dengan pelanggaran Liturgi.

Dominus illuminatio mea!

Friday, October 11, 2013

Apologi Mengenai Pernyataan "Saya Percaya Kepada Tuhan, Tetapi Bukan Tuhan Katolik"


Akhir-akhir ini, umat Katolik bahkan yang non-katolik pun dikejutkan oleh pemberitaan dari salah satu media terkemuka di Indonesia, yang berjudul �Paus Fransiskus: Saya percaya kepada Tuhan, tetapi bukan Tuhan Katolik�. Dengan membaca, artikel ini tentunya tidak sedikit umat Katolik, yang merasa heran bahkan tercengang dengan pernyataan Paus Fransiskus. Artikel ini saya buat, sebagai bentuk pembelaan saya untuk menjelaskan kesalahan baik berupa pengartian bahkan terjemahan yang tidak pas. Disini saya akan cantumkan pernyataan resmi Paus Fransiskus dari beberapa media luar negeri yaitu La Repubblica, Ibtimes dan sekaligus artikel dari Media dari Indonesia:

Paus Fransiskus: But now let me ask you a question: you, a secular non-believer in God, what do you believe in? You are a writer and a man of thought. You believe in something, you must have a dominant value. Don't answer me with words like honesty, seeking, the vision of the common good, all important principles and values but that is not what I am asking. I am asking what you think is the essence of the world, indeed the universe. You must ask yourself, of course, like everyone else, who we are, where we come from, where we are going. Even children ask themselves these questions. And you?"

Eugenio Scalfari: I am grateful for this question. The answer is this: I believe in Being, that is in the tissue from which forms, bodies arise.

Paus Fransiskus: �I believe in God, not in a Catholic God. There is no Catholic God, there is God and I believe in Jesus Christ, his incarnation. �Jesus is my teacher and my pastor, but God, the Father, Abba, is the light and the Creator. This is my Being. Do you think we are very far apart?�

Respon: Pernyataan Paus Fransiskus ini sama sekali tidak bertentangan dengan Iman Katolik, Gereja Katolik dalam Syahadat Nikea-Konstantinopel, �Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang mahakuasa pencipta langit dan bumi�. Didalam kutipan syahadat tersebut tidak ada istilah �aku percaya akan satu Allah Katolik� namun �Aku percaya akan satu Allah�. Dengan pertanyaan, �sebagai orang yang tidak percaya kepada Allah, apa yang kau percayai ?� Scalfari pun menjawab bahwa, ia percaya kepada Being yang digambarkan sebagai seorang yang menciptakan namun tidak sama dengan Allah. Paus Fransiskus pun membalas �Saya percaya kepada Allah, tapi tidak kepada Allah Katolik. Tidak ada Allah Katolik, yang ada adalah Allah dan saya percaya kepada Yesus Kristus, Inkarnasi dari Allah. Yesus adalah guru saya dan gembala saya, namun Allah Bapa, Abba, adalah terang dan Pencipta. Ini adalah Being saya. Apakah kamu berpikir bahwa, kita terpisah jauh?.

Dengan ini pernyataan ini Paus Fransiskus menegaskan bahwa hanya ada satu Allah yang menciptakan langit dan bumi. Allah itu ada bagi setiap orang yang percaya akan keberadaanNya, bahkan bagi yang tidak percaya kepadaNya (atheis) dan tidak hanya untuk orang Katolik. Tidak ada Allah Katolik yang ada hanyalah Allah. Allah pencipta langit dan bumi. Dan lebih spesifik lagi, peranan pencipta terletak pada pribadi Allah Bapa dan pribadi kedua dari Allah yaitu Yesus Kristus yang berinkarnasi menjadi manusia, yang telah mendirikan Gereja Katolik sebagai sarana keselamatan tiap orang.

Media dari Indonesia: Paus berusia 76 tahun ini menambahkan, dia tak selalu sepakat dengan apa yang selama ini menjadi standar Gereja Katolik.

"Pandangan Vatikan sentris telah mengabaikan dunia di sekitar kita. Saya tak sepakat dengan cara ini, dan saya akan lakukan apa pun untuk mengubahnya," Paus menegaskan.


Sejak terpilih menjadi pemimpin Gereja Katolik, Paus Fransiskus terbukti menjadi seorang Paus beraliran liberal. Bahkan dia bersikap lebih lunak terhadap hal-hal yang selama ini ditentang keras Vatikan seperti homoseksualitas dan ateisme.



Sekarang mari kita bandingkan dengan artikel dari media Ibtimes:

�The 76-year-old Argentinean pontiff added he does not agree with everything his religion stands for: �This Vatican-centric view neglects the world around us,� he said. �I do not share this view, and I�ll do everything I can to change it.�

Respon: Media asal Indonesia ini telah gagal dalam menerjemahkan artikel dari La Repubblica tersebut, media ini menerjemahkannya secara terpisah-pisah sehingga akan menimbulkan konsep pemikiran yang keliru dari setiap orang yang membaca artikel dari media tersebut. Standar Iman Katolik itu berbeda dengan standar Vatican Centric. Paus Fransiskus dalam totalitasnya sebagai penerus Petrus, bisa saja menolak standar Vatican Centric yang merupakan standar pelayanan Kepausan seperti Papal Mobile, tempat tinggal Paus dan yang lainnya, terhadap Paus yang memerintah saat itu. Namun tidak kepada Iman Katolik, yang telah dipelihara oleh para Paus pendahulunya. Pernyataan dari media tersebut, yang menegaskan bahwa Paus Fransiskus terbukti sebagai Paus yang beraliran liberal, patut disayangkan dan sangat bertolak belakang dengan pribadi Paus Fransiskus yang begitu tegas dalam menegakkan Iman Katolik.

Sekarang sebagai bahan refleksi, saya akan mencantumkan beberapa pertanyaan:

1. Apabila Paus Fransiskus adalah seorang yang beraliran liberal, mengapa ia menyatakan bahwa perkawinan sejenis adalah rencana Iblis yang hendak menghancurkan rencana Allah ?

2. Apabila Paus Fransiskus adalah seorang yang beraliran liberal, mengapa ia menyatakan dalam homilinya di Pesta St. Georgius bahwa sia-sialah orang yang mengimani Kristus diluar Gereja Katolik ? 

3.Apabila Paus Fransiskus adalah seorang yang beraliran liberal, mengapa ia mengekskomunikasi Greg Reynold, seorang Imam dari Keuskupan Melbourne yang mendukung pernikahan sejenis dan tahbisan imam wanita ?

Berita tentang, Paus Fransiskus yang mengeskomunikasi seorang Imam dari Melbourne bisa dibaca disini


Referensi:

Dominus illuminatio mea!

Saturday, October 5, 2013

Iman Yang Selaras Dengan Akal Budi (Lumen Fidei)


Iman adalah penerang dalam hidup, apalagi di tengah kegelapan yang menerpa duni akibat dari kesempitan diri dan dorongan cinta serta kepentingan diri makin menguat. Memang sejak dari Deus Caritas Est, sudah diperlihatkan betapa Gereja cemas akan perkembangan dunia. Ada disorientasi dalam dunia kehidupan: bukan kebenararan yang dicari, namun lebih pada kepentingan sempit dan sesaat yang berangkat dari tendensi egoisme dan sikap narsistik.

Maka lewat tiga ensiklik tentang kasih, harapan, dan iman, ini Gereja mengajak semua yang berkehendak baik untuk menata lagi hidup dan memperbarui dunia kehidupan ini. Bukan sekadar beragama dengan tekanan pada norma dan ritualnya, namun bagaimana membangun hidup secara seimbang dan integral, sehingga iman juga mewujud dalam tindakan kasih kepada sesame, sebagai tanda harapan akan keselamatan yang sudah terwujud dan dinanti kepenuhannya kelak.

Iman bukanlah suatu ilusi, bayangan, dan percakapan kosong tak berarti. Perjalanan sejarah, sejak Abraham hingga sekarang, menunjukkan fakta bahwa iman adalah suatu dorongan kekuatan hidup yang mampu menggerakkan orang, pula mengubah dunia. Iman adalah terang yang menghalau kegelapan dan dian yang menemani langkah perjalanan umat manusia. Tentu disini peristiwa Yesus adalah penentu dan kriteria dasar.

Lewat pengakuan iman akan Dia, dan kesediaan untuk ikut serta bersamaNya, umat beriman memberikan diri dalam kebersamaan, sehingga tidak lagi memperjuangkan kepentingan diri, dan bersama terlibat membangun dunia yang ditandai dengan kebenaran, keadilan dan kedamaian. Memberikan diri kepada Allah dalam iman berarti pula, dengan demikian, menjalin kebersamaan dengan sesame membangun dunia, sebagai perwujudan iman akan Dia.

Maka, sesuai dengan salah satu kunci dari pemikiran Benediktus XVI, tendensi relativisme dicoba dilawan. Iman membawa pada suatu pilihan jelas dan tegas. Iman adalah penerang langkah dan kristeria dasar hidup, karenanya tidak bisa ada sikp merelatifkan nilai, mengkompromikan kebenaran, dan memudarkan prinsip hidup. Mengikut tapak jalan Tuhan Yesus, iman mendorong pada suatu pilihan, dan pilihan tersebut bisa berarti jaln salib. Namun, pilihan iman tersebut akan membawa kepada keselamatan. Tanpa keberanian dan kesediaan memanggul salib, iman akan pudar dan menguap.

Memang ditengarai bahwa iman disingkirkan, karena antara lain orang takut menjadi picik dan fanatik. Namun, Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa iman sejati bukanlah pemicu kekerasan. Kalau itu terjadi, lebih karena iman dilepaskan dari akal budi. Pemisahan iman dengan akan budi adalah skandal besar kehidupan, demikian oleh Paus melalui ensikliknya Fides et Ratio. Paus Benediktus XVI pun berulangkali menekankan keterkaitan erat antara iman dan akal budi. Tanpa itu, orang bisa terjebak dalam kepercayaan subjektif dan pemutlakan keyakinan personal.

Langkah iman akan mendorong orang untuk terus mencari kebenaran , menggalinya dengan keterbukaan dan rendah hati, dalam sikap dialog tanpa henti. Para pencari kebenaran adalah orang-orang yang rendah hati, dengan kesediaan diri untuk terus menerus mendengarkan dan memberikan diri dibentuk serta dididik oleh Tuhan. Orang beriman, dengan demikian, adalah para pencinta kebenaran, penggali pemahaman iman tanpa henti, bukan kaum fanati buta. Maka, diperlukan kesediaan untuk terus menerus mau belajar mendengarkan dan menggali, dalam suatu perziarahan iman dalam hidup yang tak pernah mengenal kata akhir, selain didalam kesatuan utuh denganNya. Kebenaran iman itu tidaklah bertentangan dengan akal budi, dan karenanya membawa masuk ke dalam perjumpaan dengan realitas kehidupan, tempat dimana rahmat berkerja.

Renungan oleh RP T. Krispuwarna Cahyadi SJ.